Selasa, 15 Maret 2016

Murahnya Agama Bagi Partai Politik



Murahnya Agama Bagi Partai Politik
Oleh: Wiwin Apriliani
Sering kali kita mendengar diskusi publik yang tidak konstruktif ketika  berbincang di wilayah antara politik dengan agama dan dakwah. Hal ini telah berlangsung lama. Sehingga  paradigma ini terus berlangsung sekian lama hingga lahirnya partai-partai politik yang mengusung jargon dan misi dakwah dalam praktik perpolitikan. Kembali wacana partai dakwah seiring keseriusan segolongan yang tak mau politik bahwa dakwah akhirnya menjadi korban politik.
 Menjelang pemilu Jakarta 2016, Warga DKI Jakarta akan merayakan pesta demokrasi, dimana setiap warga memiliki jagoan masing-masing. Yang membuat menarik adalah mendaftarnya kembali Gubernur  Basuki Cahya Purnama yang biasa dipanggil Ahok yang beragama non muslim. Masih segar diingatan ketika tahun 2012 dulu ia mendaftar sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, yang berpasangan dengan Joko Widodo yang kini telah menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Yap, pada masa pilgub DKI, pendukung lawan kerap mengklaim bahwa beliau adalah orang yang beriman sekaligus menuding persaingan sebagi kafir, laknatullah, musuh islam, antek iblis, dan sebaginya.
Menyedihkan memang tapi itulah kira-kira yang menonjol pada pilgub tahun 2012 silam. Tidak kalah menyedihkan, kampanye itu dilakukan oleh orang-orang yang kesehariannya islami, berbau surga, dan dilakukan oleh sekelompok itu juga.
Seperti inilah yang tersebar di internet,
“Tanamkan kepada semua yang mendaftar maupun yang sporadic, bahwasannya: kemenangan itu bukan hanya di dunia tetapi diakhiratpun ada kemenangan walaupun kemenangan itu dalam konteks yang berbeda, yakni kemenangan langsung dari Allah SWT yang diperuntukan bagi orang-orang yang beriman.
Berikikut adakah janji Allah SWT yang tertulisdalam kitabnya yang terpelihara;
Namun apa yang terjadi? mereka kalah!! Secara logika apakah Allah telah menghianti orang-orang yang beriman, apakah isi Al-qur’an dan hadist salah?

Karuan saja banyak yang tertawa dengan hasil pemilu yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an, termasuk saya sendiri. Jelas saya tidak menertawakan Al-Qur’an tidak menyalahkan agama tapi orang-orang culun yang menjual ayat-ayat Al-Qur’an dengan begitu murahnya.
Kini masa-masa itu terulang kembali dimana orang-orang yang berintelektual tinggi menyertakan ayat-ayat dan hadis untuk menyingkirkan lawannya. Mereka mulai berkoar dengan ayat dan hadist, masalahnya mereka yang kerap mengidentifikasikan agamanya berada dalam posisi menyerang maka ayat-ayat suci pun mereka gunakan untuk meyerang. Termasuk cara-cara yang dilarang oleh agama.
Tidak dipungkiri, hiruk piruk pemilu menjadikan sebagaian seperti kalap dan kehilangan pertimbangan rasionalnya, dan jelas tidak tanggung-tanggung terjadi dikalangan pimpinan agama, yang mengedepankan aspek sentimental diatas pertimbangan rasionalitas. Dalam beberapa minggu ini sudah ada beberapa orang atau kelompok yang mengeluarkan statemen atau tepatnya fatwa mengharamkan bagi umat islam khususnya untuk memilih calon-calon yang kebetulan telah dipresepsikan calon tersebut akan dipilih oleh umat islam, maka seolah-olah kalau memilih calon pasangan lain melanggar hokum islam  alias haram.
Ulama-ulama yang mengeluarkan fatwa tersebut kiranya kurang jeli bahwa proses-proses politik adalah proses tarik ulur berdasarkan kepentingan masing-masing. Kalau pertimbangan ini murni sudah jelas tidak akan  ada partai-partai yang mengatas namakan  kepentingan agama. Padahal jelas idiologi Negara Indonesia sendiri adalah idiologi pancasila yang mengedepankan pancasila, menjunjung harkat martabat pancasila. Dalam alinea ke lima telah jelas di katakana bahwa  “Keadilan sosial bagi selruh rakyat Indonesia” ini artinya dimana setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia berhak menjadi pemimpin dan di pimpin, dimana tidak ada jurang pemisah antara warga dari agama, suku, ras dan budaya dalam memimpin bangsa Indonesia.
Murahnya mengeluarkan dalil-dalil atau fatwah-fatwah seperti ini rentan menjadikan agama sebagai alat kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik. Dan kalau ini terjadi maka agama telah terjatuh ke lembah yang paling rendah, menjadi alat yang mohon maaf jangan-jangan diperjual-belikan untuk kepentingan tertentu.
Kiranya orang-orang yang memiliki kepentingan lain, baiknya tidak menjual, mengotori dan merusak nama agama tertentu. Karena ini jelas menjadi citra yang buruk bagi agama tersebut. Agama adalah suatu yang sakral tidak pantas disandangkan dengan politik yang jelas-jelas memiliki kepentingan lain diluar konteks agama. Karena tidak ada arogansi yang paling besar dan berbahayadari arogansi keagamaan.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar