Murahnya Agama Bagi Partai Politik
Oleh: Wiwin Apriliani
Sering
kali kita mendengar diskusi publik yang tidak konstruktif ketika berbincang di wilayah antara politik dengan
agama dan dakwah. Hal ini telah berlangsung lama. Sehingga paradigma ini terus berlangsung sekian lama
hingga lahirnya partai-partai politik yang mengusung jargon dan misi dakwah
dalam praktik perpolitikan. Kembali wacana partai dakwah seiring keseriusan
segolongan yang tak mau politik bahwa dakwah akhirnya menjadi korban politik.
Menjelang pemilu Jakarta 2016, Warga DKI
Jakarta akan merayakan pesta demokrasi, dimana setiap warga memiliki jagoan
masing-masing. Yang membuat menarik adalah mendaftarnya kembali Gubernur Basuki Cahya Purnama yang biasa dipanggil
Ahok yang beragama non muslim. Masih segar diingatan ketika tahun 2012 dulu ia
mendaftar sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, yang berpasangan dengan Joko
Widodo yang kini telah menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Yap,
pada masa pilgub DKI, pendukung lawan kerap mengklaim bahwa beliau adalah orang
yang beriman sekaligus menuding persaingan sebagi kafir, laknatullah, musuh
islam, antek iblis, dan sebaginya.
Menyedihkan
memang tapi itulah kira-kira yang menonjol pada pilgub tahun 2012 silam. Tidak
kalah menyedihkan, kampanye itu dilakukan oleh orang-orang yang kesehariannya
islami, berbau surga, dan dilakukan oleh sekelompok itu juga.
Seperti
inilah yang tersebar di internet,
“Tanamkan kepada semua yang mendaftar maupun
yang sporadic, bahwasannya: kemenangan itu bukan hanya di dunia tetapi
diakhiratpun ada kemenangan walaupun kemenangan itu dalam konteks yang berbeda,
yakni kemenangan langsung dari Allah SWT yang diperuntukan bagi orang-orang
yang beriman.
Berikikut adakah janji Allah SWT
yang tertulisdalam kitabnya yang terpelihara;
Namun
apa yang terjadi? mereka kalah!! Secara logika apakah Allah telah menghianti
orang-orang yang beriman, apakah isi Al-qur’an dan hadist salah?
Karuan
saja banyak yang tertawa dengan hasil pemilu yang tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an, termasuk saya sendiri. Jelas saya tidak
menertawakan Al-Qur’an tidak menyalahkan agama tapi orang-orang culun yang
menjual ayat-ayat Al-Qur’an dengan begitu murahnya.
Kini
masa-masa itu terulang kembali dimana orang-orang yang berintelektual tinggi
menyertakan ayat-ayat dan hadis untuk menyingkirkan lawannya. Mereka mulai
berkoar dengan ayat dan hadist, masalahnya mereka yang kerap
mengidentifikasikan agamanya berada dalam posisi menyerang maka ayat-ayat suci pun
mereka gunakan untuk meyerang. Termasuk cara-cara yang dilarang oleh agama.
Tidak
dipungkiri, hiruk piruk pemilu menjadikan sebagaian seperti kalap dan
kehilangan pertimbangan rasionalnya, dan jelas tidak tanggung-tanggung terjadi
dikalangan pimpinan agama, yang mengedepankan aspek sentimental diatas
pertimbangan rasionalitas. Dalam beberapa minggu ini sudah ada beberapa orang
atau kelompok yang mengeluarkan statemen atau tepatnya fatwa mengharamkan bagi
umat islam khususnya untuk memilih calon-calon yang kebetulan telah dipresepsikan
calon tersebut akan dipilih oleh umat islam, maka seolah-olah kalau memilih
calon pasangan lain melanggar hokum islam
alias haram.
Ulama-ulama
yang mengeluarkan fatwa tersebut kiranya kurang jeli bahwa proses-proses
politik adalah proses tarik ulur berdasarkan kepentingan masing-masing. Kalau
pertimbangan ini murni sudah jelas tidak akan ada partai-partai yang mengatas namakan kepentingan agama. Padahal jelas idiologi
Negara Indonesia sendiri adalah idiologi pancasila yang mengedepankan
pancasila, menjunjung harkat martabat pancasila. Dalam alinea ke lima telah
jelas di katakana bahwa “Keadilan sosial
bagi selruh rakyat Indonesia” ini artinya dimana setiap orang yang
berkewarganegaraan Indonesia berhak menjadi pemimpin dan di pimpin, dimana
tidak ada jurang pemisah antara warga dari agama, suku, ras dan budaya dalam
memimpin bangsa Indonesia.
Murahnya
mengeluarkan dalil-dalil atau fatwah-fatwah seperti ini rentan menjadikan agama
sebagai alat kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik. Dan kalau ini
terjadi maka agama telah terjatuh ke lembah yang paling rendah, menjadi alat
yang mohon maaf jangan-jangan diperjual-belikan untuk kepentingan tertentu.
Kiranya
orang-orang yang memiliki kepentingan lain, baiknya tidak menjual, mengotori
dan merusak nama agama tertentu. Karena ini jelas menjadi citra yang buruk bagi
agama tersebut. Agama adalah suatu yang sakral tidak pantas disandangkan dengan
politik yang jelas-jelas memiliki kepentingan lain diluar konteks agama. Karena
tidak ada arogansi yang paling besar dan berbahayadari arogansi keagamaan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar